Kamis, 09 Mei 2013

MAKALAH PENYAKIT YANG MENYERTAI KEHAMILAN DAN PERSALINAN

BAB II
  PEMBAHASAN

1.      Penyakit jantung

Keperluan janin yang sedang bertumbuh akan oksigen dan zat-zat makanan bertambah dan berlangsungnya kehamilan, yang harus di penuhi dalam darah ibu. Banyaknya darah yang beredar bertambah, sehingga jantung harus bekerja lebih berat. Karena itu, dalam kehamilan selalu terjadi perubahan-perubahan dalam system kardiovaskular yang biasanya masih dalam batas-batas fisiologik

Perubahan-perubahan itu terutama disebabkan:
1.         karena hidremia (hipervolemia)dalam kehamilan, yang sudah dimulai sejak umur kehamilan 10 minggu dan mencapai puncaknya antara 32 dan 36 minggu;
2.         karena uterus gravidus yang makin lama makin besar mendorong diafragma ke atas, ke kiri, dan ke depan, sehingga pembuluh-pembuluh darah besar dekat jantung mengalami lekukan dan putaran.

Ada yang mendapatkan peningakatan volume plasma darah yang dimulai kira-kira akhir trimester pertama dan mencapai puncaknya pada minggu ke 32-34, yang selanjutnya menetap selama trimester terakhir kehamilan, di mana volume darah bertambah sebesar 22%. Besar dan saat terjadinya peningkatan volume plasma berbeda dengan peningkatan volume sel darah merah; hal ini mengakibatkan terjadinya anemia delusional (pencairan darah)

            Setelah 12-24 jam pascapersalinan terjadi peningkatan volume plasma dari ekstravaskuler ke dalam pembuluh darah yang kemudian akan diikuti oleh periode diuresis pascapersalinan yang mengakibatkan terjadinya penurunan volume plasma (adanya hemokonsentrasi). Dua minggu pascapersalinan merupakan periode penyesuaian untuk kembali ke nilai volume plasma seperti sebelum hamil.

Dalam kehamilan frekuensi detik jantung agak meningkat dan nadi rata-rata mencapai 88 per menit dalam kehamilan 34-36 minggu. Dalam kehamilan lanjut prekordium mengalami pergeseran ke kiri dan pula sering terdengan bising sistolik di daerah apeks dan katup pulmonal. Kita harus waspada dalam membuat diagnosis penyakit jantung dalam kehamilan apabila di jumpai gejala-gejala seperti itu.
Saat-saat berbahaya bagi penderitra ialah:
1.      kehamilan 32-36 minggu apabila hipervolemia mencapai puncaknya.
2.      partus kala II apabila wanita mengerahkan tenasganya untuk meneran
3.      masa postpartum, karena dengan lahirnya plasenta anastomosis arteria-vena hilang dan darah yang sehrtusnya masuk kedalam ruang intervilus sekarang masuk ke dalam sirkulasi besar.

Perubahan volume plasma darah yang terjadi pada penderita penyakit jantung merupakan proses adaptasi sebagai upaya konpensasi untuk mengatasi kelainan yang ada dan jangka waktu kelainan yang timbul. Penderita dengan gangguan kardiovaskular mempunyai toleransi yang sangat buruk terhadap penurunan volume darah dan pada saat yang sama juga tidak beradaptasi terhadap kelebihan volume sirkulasi. Volume darah yang terdapat dalam sirkulasi penderita berada dalam keseimbangan sesuai dengan kelainan yang ada.

  Volume plasma pada kasus penyakit jantung kelainan katup dalam kehamilan, lebih rendah dari kehamilan normal baik pada usia kehamilan 32 minggu, partus kala I maupun saat dua minggu postpartum; dengan anemia sebagai penyerta yang sering di temukan.
Gejalah klinis tampak bahwa makin meningkat kelas fungsional penyakit jantung yang di derita, maka volume darah cenderung lebih rendah.

Sebaliknya penyakit jantung memberi pengaruh tidak baik pada kehamilan dan janin dalam kandungan. Apabila ibu menderita hipoksia dan sianosi, hasil konsepsi dapat menderita pula dan mati, kemudian disusul oleh abortus. Apabila konsepsinya dapat hidup terus, anak dapat lahir premature atau lahir cukup bulan akan tetapi dengan berat badan rendah (dismaturitas). Selain itu janin bisa menderita hipoksia dan gawat janin dalam persalinan, sehingga neonatus lahir mati atau dengan nilai APGAR rendah. Juga nifas yang merupakan masa yang berbahaya dan mengancam keselamatan ibu.


Diagnosis
Dari anamnesis sudah sering diketahui wanita itu penderita penyakit jantung, baik sejak masa sebelum ia hamil maupun dalam kehamilan-kehamilan yang terdahulu. Burwell dan Metcalfe mengajukan 4 kriteria, satu di antaranya sudah cukup untuk membuat diagnosis penyakit jantung dalam kehamilan:
1)      Bising diastolic, presistolik, atau bising jantung terus menerus;
2)      Pembesaran jantung yang jelas;
3)      Bising jantung yang nyaring, terutama bila disertai thyill;
4)      Aritmia yang berat.

Wanita  hamil yang tidak menunjukkan salah satu gejala tersebut di atas jarang menderita penyakit jantung. Penyakit jantung berat tidak sulit untuk di kenal. Akan tetapi, karena diagnosis penyakit jantung dalam kehamilan lebih sulit seperti  di jelaskan di atas, maka jika ada kemungkinan adanya penyakit  jantung, harus diminta pendapat seorang dokter yang lebih ahli.

Klisifikasi penyakit jantung  dalam kehamilan
Klasifiakasi penyakit jantung yang sifatnya fungsionil dan berdasarkan keluhan-keluhan yang dahulu dan sekarang di alami oleh sangat praktis dalam penanggulangan dan penentuan prognosis penyakit jantung dalam kehamilan.
Klasifikasi itu sebagai berikut.
Kelas I
Para penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan fisik, dan tanpa gejala-gejala penyakit jantung apabila mereka melakukan kegiatan biasa.

Kelas II
Para penderita penyakit jantung dengan  sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik biasa menimbulkan gejala-gejala insufiensi jantung, seperti kelelahan, jantung berdebar (palpitasi kordis), sesak nafas atau angina pectoris.



Kelas III
Para penderita penyakit jantung dengan banyak pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang kurang dari kegiatan biasa menimbulkan gejala-gejala insufiensi jantung seperti di sebut dalam kelas II.

Kelas IV
Para penderita penyakit jantung yang tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa menimbulkan keluhan. Waktu istirahat juga dapat timbul gejala-gejala insufiensi jantung, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan fisik walaupun yang sangat ringan.

Penanganan
Penanganan wanita hamil dengan penyakit jantung, yang sebaiknya dilakukan dalam kerjasama dengan ahli penyakit dalam atau kardiog, banyak ditentukan oleh kemampuan fungsionil jantungnya.

Kelainan penyerta sebagai factor predisposisi yang dapat memperburuk fungsi jantung ialah:
1)         peningkatan usia penderita dengan penyakit jantung hipertensi dan superimposed preeklamsia dan eklamsia;
2)         aritmia jantung .atau hipertrofi ventrikel kiri;
3)          riwayat dekompensasi kondisi;
4)          anemia.

Sebaliknya, Hipotensi juga tidak baik, terutama pada wanita dengan septum terbuka. Apabila hal-hal di atas tidak di cegah, maka penderita masuk ke kelas yang lebih tinggi. Kenaikan berat badan yang berlebihan, infeksi, serta retensi air harus dicegah, dan anemia harus diobati.

Pengobatan dan penatalaksanaan penyakit jantung dalam kehamilan tergantung pada derajat fungsionilnya, dan ini harus ditemukan pada setiap kunjungan periksa hamil.


Kelas I
Tidak ada pengobatan tambahan yang di butuhkan

Kelas II
Umumnya penderita pada keadaan ini tidak membutuhkan pengobatan tambahan, tetapi mereka harus menghindari aktifitas yang berlebihan, terutama pada kehamilan usia 28-32 minggu.

Kelas III
Yang terbaik bagi penderita seperti ini adalah di rawat di rumah sakit selama hamil, terutama pada usia kehamilan 28 minggu. Biasanya dibutuhkan pemberian diuretika.

Kelas IV
Penderita dalam keadaan ini mempunyai resiko yang besar dan harus di rawat di rumah sakit selama kehamilannya.

Apabila timbul gejala-gejala dekonfensasi kordis, wanita harus segera di rawat dan digolongkan kedalam kelas satu tingkat lebih tinggi. Penderita harus istirahat baring dan diberi pengobatan. Dalam persalinan diperlukan pengawasan khusus dan sebisanya diusahakan partus pervaginam. Seksio sesarea hanya dapat dilakukan atas indikasi obstetric, seperti plasenta previa dan disproporsi sefalo-pelvik.

Kala persalinan biasanya tidak berbahaya. Rasa nyeri perlu dikurangi, lebih-lebih apabila persalinan akan diperkirakan berlangsung cukup lama. Pendekatan secara psikologis supaya ibu tetap tenang dan merasa aman mempunyai pengaruh yang sangat baik. Untuk mencegah timbulnya dekompensasi kordis sebaiknya dibuat daftar pengawasan khusus untuk pencatatan nadi dan pernapasan secara berkala : dalam kala I setiap 10-15 menit dan kala II setiap 10 menit. Apabila nadi menjadi lebih dari 100/menit dan pernapasan lebih dari 28/menit, lebih-lebih apabila disertai sesak napas, maka keadaan sangat berbahaya ( berpotensi dekompensasi kordis ) dan wanita harus diobati dengan digitalis. Biasanya disuntik intravena perlahan-lahan dengan delabosit 1,2 mg – 1,6 mg dengan dosis permulaan 0,8 mg. suntikan dapat diulang satu atau dua kali lagi dengan selang waktu 1-2 jam. Disamping itu pemberian oksigen, morfin (10-15 mg) dan diuretikum, seperti furosemik (lasix), bemanfaat pula.

Dalam kala II, apabila timbul gejala-gejala dekompensasi, anak boleh lahir spontan, hanya ibu sebisanya dilarang meneran. Apabila janin belum lahir setelah persalinan kala II berlangsung 20 menit atau ibu tidak dapat dilarang meneran kuat, maka sebaiknya persalinan diakhiri dengan forseps atau ekstraktor vakum. Selain itu penderita dapat menunjukkan gejala-gejala gawat jantung selama kehamilan dan pendarahan postpartum, infeksi nifas dan trombo-embolismus merupakan komplikasi yang jauh berbahaya bagi ibu dengan penyakit jantung. Sebaiknya penderita jantung dirawat di RS sekurang-kurangnya 14 hari setelah melahirkan dengan istirahat dan mobilisasi tahap demi tahap serta menghindari infeksi.


Penderita dalam kelas III dan IV tidak boleh hamil karena bahaya terlampau besar. Apabila ia hamil juga, maka pada kehamilan kurang dari 12 minggu, abortus terapiutik perlu dipertimbangkan. Pada kehamilan berjalan terus, untuk mencegah timbulnya dekompensasi, sebaiknya ia harus berbaring terus selama kehamilan dan nifas. Sekali terjadi dekompensasi dalam jalannya kehamilan penderita mutlak harus dirawat dan berbaring terus sampai setelah anak lahir. Setelah kala III selesaiharus dilakukan pengawasan yang ketat untuk terjadinya gagal jantung atau edemaparu.

        Penanganan penderita dalam kelas IV pada dasarnya sama dengan apa yang dilakukan bagi penderita yang mengalami dekompensasi dalam kehamilan , persalinan dan nifas. Tujuan utama ialah memberantas dekompensasi, karena dengan hanya demikian persalinan akan berlangsung cukup aman.

Penyakit Jantung reumatik
Perubahan kehamilan yang menyulitkan diagnosis demam rematik adalah : nyeri sendi pada wanita hamil mungkin oleh karena sikap tubuh yang memikul beban yang lebih besar sehubungan denga kehamilannya serta meningkatkan laju endap darah dan jumlah leukosit. Bila terjadi demam rematik pada kehamilan maka prognosisnya akan buruk. Adanya aktifitas demam rematik dapat diduga bila terdapat :


1. Suhu subfebris dengan takikardi yang lebih cepat dari semestinya.
2. Leukositosis dan laju endap darah yang tetap tinggi.
3. Terdengar desir jantung yang berubah-ubah sifatnya maupun tempatnya, dan

Kelainan jantung bawaan
Biasanya kelainan jantung bawaan di ketahui oleh penderita sebelum kehamilan, akan tetapi kadang-kadang dikenal oleh dokter pada pemeriksaan fisik waktu hamil Pada umumnya penderita kelainan jantung bawaan tidak mengalami kesulitan dalam kehamilan asal penderita tidak sianosis dan tidak menunjukkan  gejala-gejala lain dari luar kehamilan.

2.       Asma
        Asma bronkiale merupakan salah asatu penyakit saluran nafas yang sering dijumpai dalam kehamilan dan persalinan. Pengaruh kehamilan terhadap timbulnya serangan asma tidaklah selalu sama pada setiap penderita. Kurang dari sepertiga penderita asma akan membaik dalam kehamilan, lebih dari 1/3 akan menetap, serta kurang dari 1/3 lagi akan menjadi buruk atau serangan bertambah. Biasanya serangan akan timbul mulai usia kehamilan 24 minggu sampai 36 minggu, dan pada akhir kehamilan serangan jarang terjadi.

     Pengaruh asma pada ibu dan janin sangat tergantung dari sering dan beratnya serangan, karena ibu dan janin akan kekurangan oksigen (02) atau hipoksia. Keadaan hipoksia bila tidak segera diatasi tentu akan berpengaruh pada janin, dan sering terjadi keguguran, persalinan prematur atau berat janin tidak sesuai dengan usia kehamilan (gangguan pertumbuhan janin).

        Faktor pencetus timbulnya asma, antara lain zat-zat alergi, infeksi saluran nafas, pengaruh udara dan faktor psikis. Penderita selama kehamilan perlu mendapat pengawasan yang baik, pegawasan yang baik, biasanya penderitamengeluh napas pendek, berbunyi, sesak dan batuk-batuk. Diagnosis dapat ditegakkan seperti asma diluar kehamilan.

DEFINISI
Asma adalah penyakit paru kronis yang melibatkan berbagai varietas immune sistem cell, yang menyebabkan timbulnya respon bronkus berupa wheezing, dyspne, batuk, dan dada terasa berat

PATOFISIOLOGI
Asma adalah peradangan kronik saluran nafas dengan herediter utama. Peningkatan respon saluran nafas sedangkan lingkungan yang menjadi allergen tergantung individu masing-masing seperti influenza atau rokok. Asma merupakan obstruksi saluran nafas yang reversible dari kontraksi otot polos bronkus, hipersekresi mukus dan edem mukosa. Terjadi peradangan di saluran nafas dan menjadi responsive terhadap beberapa rangsangan termasuk zat iritan, infeksi virus, aspirin, air dingin dan olahraga.

PEMERIKSAAN
1. Riwayat
Pasien dengan riwayat asma yang telah berlangsung sejak lama ditanya sejak kapan, derajat serangan-serangan sebelumnya. Penggunaan kortikosteroid yang telah lalu, riwayat sering dirawat di rumah sakit, riwayat ventilasi mekanik yang pernah dialami, atau perawatan di ruang rawat darurat yang baru dialami dapat memberikan petunjuk bagi adanya serangan lebih parah atau membandel yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.
2.   Pemeriksaan Fisik
Serangan yang parah dicurigai dari adanya sesak nafas pada waktu istirahat, kesulitan mengucapkan kalimat, diaforesis atau penggunaan otot-otot pernafasan tambahan. Kecepatan respirasi lebih besar dari 30 kali/menit, nadi berdenyut lebih cepat dari 120 kali/menit dan pulsus paradoksus yang lebih besar dari 18 mmHg menunjukkan serangan berat yang berbahaya.
Gejala yang ditemui : wheezing sedang sampai bronkokonstriksi berat. Bronkospasme akut dapat bergejala obstruksi saluran nafas dan menurunnya aliran udara. Kerja system pernafasan menjadi meningkat drastis dan pada pasien dapat dilihat gerakan dada yang tertinggal, wheezing atau kesukaran bernafas. Peristiwa berikutnya pada refleks oksigen primer terjadi reflek ventilasi perfusi yang tidak sepadan karena distribusi dari saluran udara (bronchus) secara merata tidak terjadi.

Pada kasus asma sedang, hipoksia pada awalnya dapat dikompensasi oleh hiperventilasi. Akibat penyempitan saluran udara yang bertambah berat gangguan ventilasi perfusi menjadi bertambah berat juga dan arterial hipoksemi terjadi. Pada obstruksi berat, ventilasi menjadi berat karena retensi CO2.

Walaupun perubahan ini bersifat reversibel dan dapat ditoleransi pada wanita tidak hamil namun, setiap awal derajat tingkatan asma sangat berbahaya untuk wanita hamil dan bayinya. Penurunan kapasitas fungsi residu dan peningkatan efektif shunt menyebabkan wanita hamil lebih rentan terhadap hipoksia dan hipoksemia.

PENGARUH ASMA TERHADAP KEHAMILAN
Asma sewaktu kehamilan terutama asma yang berat dan tidak terkontrol dapat menyebabkan peningkatan resiko komplikasi perinatal seperti preeklampsi, kematian perinatal, prematur dan berat badan lahir rendah.
Pada asma yang sangat berat dapat mengakibatkan kematian ibu. Mekanisme yang dapat menerangkan ini adalah hipoksia akibat dari asma yang tidak terkontrol, akibat pengobatan asma, atau faktor patogenetis.Walaupun beberapa mekanisme yang pasti belum diketahui tetapi dari hasil penelitian menunjukkan bahwa manajemen yang baik sewaktu kehamilan akan memberikan hasil yang baik pada periode perinatal.

Penelitian Shiliang Liu menemukan bahwa asma pada ibu hamil secara signifikan berhubungan dengan beberapa kondisi seperti kelahiran preterm, bayi kecil atau besar dari usia kehamilan, preeklampsia, hipertensi selama kehamilan, perdarahan antepartum, korioamnionitis dan persalinan dengan seksio sesar. Kelainan terhadap janin didapatkan bayi besar dari usia kehamilan 12,4%, bayi kecil dari masa kehamilan 12,2% dan persalinan preterm 10%.

EFEK PADA FETUS
Kompensasi yang terjadi pada fetus adalah :
1. Menurunnya aliran darah pada uterus
2. Menurunnya venous return ibu
3. Kurva dissosiasi oksiHb bergeser ke kiri

Sedangkan pada ibu yang hipoksemia, respon fetus yang terjadi :
1. Menurunnya aliran darah ke tali pusat
2. Meningkatnya resistensi pembuluh darah paru dan sistemik
3. Menurunnya cardiac output

        Perlu diperhatikan efek samping pemberian obat – obatan asma terhadap fetus, walaupun tidak ada bukti bahwa pemakaian obat – obat anti asma akan membahayakan fetus.
Terhadap ibu didapatkan juga beberapa keadaan seperti preeklampsia 3,3%, hipertensi selama kehamilan 8%, solusio plasenta 2,5%, korioamnionitis 10,4% dan persalinan dengan seksio sesar 26,4%. Oleh karena itu diperlukan perhatian ekstra terhadap ibu dan janin pada wanita hamil dengan asma.

Penanganan
1.         Mencegah timbulnya stress
2.         Menghindari faktor resiko (pencetus) yang sudah diketahui, secara intensif.
3.         Mencegah penggunaan obat seperti aspirin dan semacam yang dapat menjadi pencetus timbulnya serangan.
4.         Pada asma yang ringan dapat digunakan obat-obat lokal yang berbentuk inhalasi, atau peroral seperti isoproterenol.
5.         Obat-obatan yang umumnya aman dan efektif mengobati asma selama kehamilan antara lain: bronkodilator hirup, misalnya alboterol (proventil), metaprotenerol(alupent), dan sulfat terbutalin dalam bentuk aerosol hirup (breathaire). Obat oral yang biasa digunakan adalah teofillin (theo-dur, slow-bid). Agens antiradang yang dapat digunakan antara lain: beklometason (vanceril, bekloven), flunisolid (aerobid), prednison. Kebutuhan terhadap agens antiradang menunjukkan kondisi asma yang dialami berat.
        Selama persalinan, wanita harus terus mem inum obat secara teratur. Perhatian harus diberikan untuk memastikan bahwa status hidrasinya baik dan nyerinya diatasi dengan tepat. Tindakan ini membantu mencegah spasme bronkus. Selama persalinan, hindari penggunaan obat yang dapat menimbulkan spasme bronkus, misal morfin dan meteridin (demerol). Apabila prostagladin dibutuhkan untuk penatalaksanaan postpartum kala IV maka berikan prostaglandin E2(PGE2) yang dikenal dengan sebutan dinoproston di pasaran.
        Hindari penggunaan obat-obat yang mengandung iodium karena dapat membuat gangguan pada janin, dan diberikan antibiotika kalau ada sangkaan terdapat infeksi. Persalinan biasanya dapat berlangsung spontan akan tetapi bila penderita masih dalam serangan dapat diberi pertolongan dengan tindakan seperti dengan ekstraksi vakum atau forseps. Tindakan seksio sesarea atas indikasi asma jarang atau tak pernah dilakukan.

3.      Ginjal
         Dalam kehamilan terdapat perubahan-perubahan fungsional dan anatomic ginjal dan saluran kemih yang sering menimbulkan gejala-gejala dan kelainan fisik dan hasil pemeriksaan laboratorium. Perubahan anatomi terdapat  peningkatan pembuluh darah dan ruangan interstisial pada ginjal. Ginjal akan memanjang kurang lebih 1 cm dan kembali normal setelah melahirkan. Ureter juga mengalami pemanjangan, melekuk dan kadang berpindah letak ke lateral dan akan kembali normal 8-12 minggu setelah melahirkan.

         Selain itu juga terjadi hiperlpasia dan hipertrofi otot dinding ureter dan kaliks, dan berkurangnya tonus otot-otot saluran kemih karena pengaruh kehamilan. Akibat pembesaran uterus hiperemi organ-organ pelvis dan pengaruh hormonal terjadi perubahan pada kandung kemih yang dimulai pada kehamilan 4 bulan. Kandung kemih akan berpindah lebih anterior dan superior. Pembuluh-pembuluh di daerah mukosa akan membengkak dan melebar. Otot kandung kemih mengalami hipertrofi akibat pengaruh hormon estrogen. Kapasitas kandung kemih meningkat sampai 1 liter karena efek relaksasi dari hormon progesterone.

Perubahan Fungsi
        Segera sesudah konsepsi, terjadi peningkatan aliran plasma (Renal Plasma flow) dan tingkat filtrasi gomerolus (Gomerolus Filtration Rate). Sejak kehamilan trimester II GFR akan meningkat 30-50 %, diatas nilai normal wanita tidak hamil. Akibatnya akan terjadi penurunan kadar kreatinin serum dan urin nitrogen darah, normal kreatinin serum adalah 0,5-0,7 mg/100 ml dan urea nitrogen darah 8-12 mg/100 mll.

Secara empiris, kehamilan dengan kelainan ginjal kronis merupakan kehamilan dengan risiko yang sangat tinggi. Karena kehamilan sendiri bisa menyebabkan kelainan pada ginjal seperti infeksi saluran kemih, hipertensi dan lain sebagainya.

Perhatian terhadap wanita hamil dengan penyakit ini menjadi dua kali lipat, karena efek kehamilan terhadap fungsi ginjal dan efek kelainan ginjalnya terhadap kehamilan.

Efek kehamilan terhadap fungsi ginjal
 Bisa terjadi penurunan fungsi ginjal. Secara umum prognosa tergantung derajat dengan gangguan ginjal pada saat konsepsi, serta adanya kelainan penyerta, seperti tekanan darah tinggi dan bocornya protein (proteinuria).
  Penyebab menurunnya fungsi ginjal, pada beberapa pasien bahkan tidak diketahui. Adanya hipertensi memberi kontribusi memburuknya fungsi ginjal. Infeksi saluran kencing juga bisa memperburuk fungsi ginjal. Proteinuria yang sering terjadi pada wanita hamil bisa mempengaruhi fungsi ginjal.

Efek insufisiensi ginjal terhadap kehamilan                                 
Secara umum, janin bisa bertahan hidup sangat besar yaitu 95%. Namun pada pasien yang menjalani dialisis (cuci darah)angkanya menjadi 52%. Penderita dengan gangguan ringan bisa mengalami komplikasi berupa BBLR, persalinan kurang bulan dan lahir mati.

Penanganan
         Kunjungan ANC harus lebih sering. Beberapa penulis menganjurkan kontrol tiap 2 minggu sampai usia kehamilan 28 minggu dan seminggu sekali sesudahnya. Kontrol tekanan darah pada  kunjungan. Lakukan test urin terhadap adanya protein serta lakukan skrining akan adanya infeksi saluran kencing. Erythropoietin dapat diberikan jika penderita mengalami anemia namun harus hati2 karena bisa memperburuk hipertensi.
Penanganan Obstetri
   Penyebab kematian dan kesakitan bayi pada pasien dengan kelainan ginjal adalah persalinan kurang bulan. Masih ada perdebatan tentang melahirkan bayi secara elektif lebih cepat dari waktunya sekitar(34-36 minggu) pada pasien dengan insufisiensi ginjal kronis atau yang sedang menjalani dialisis terutama jika paru janin sudah matang.
PIELONEFRITIS KRONIKA
Pielonefritis kronika biasanya tidak atau sedikit sekali menunjukkan gejala-gejala penyakit saluran kemih, dan merupakan predisposisi terjadinya pielonefritis akuta dalam kehamilan. Penderita mungkin menderita tekanan darah tinggi. Pada keadaan penyakit lebih berat didapatkan penurunan  tingkat filtrasiglumerolus dan pada urinalisis urin mungkin normal, mungkin ditemukan protein kurang dari 2 g per hari, gumpalan sel-sel darah putih.
Prognosis bagi ibu dan janin tergantung dari luasnya kerusakan jaringan ginjal. Penderita yang hipertensi dan insufiensi ginjal mempunyai prognosis buruk. Penderita ini  sebaiknya tidak hamil, karena resiko tinggi.

GLOMERULONEFRITIS AKUTA
Glomerulonefritis akuta jarang dijumpai pada wanita hamil. Penyakit ini dapat timbul setiap saat dalam kehamilan, dan penderita nefritis dapat  menjadi hamil. Yang menjadi penyebab biasanya Streptococcus beta-haemolyticus jenis A. Sering ditemukan bahwa penderita pada saat yang sama atau bebrapa minggu sebelumnya menderita infeksi jalan pernapasan, tonsillitis, atau infeksi lain-lain oleh sterptokokkus, suatu hal yang menyokong teori infeksi fokal.
Gambaran klinik ditandai oleh timbulnya himaturia  dengan tiba-tiba, edema dan hipertensi pada penderita yang sebelumnya tampak sehat. Kemudian sindroma ditambah bdengan oliguria sampai anuria, nyeri kepala. Diagnosis menjadi sulit apabikla timbul serangan kejang-kejang dengan atau tanpa koma yang disebabkan oleh komplikasi hipertensi serebral, atau oleh uremia. Apabila penyakitnya diketahui dalam triwulan III., maka perbedaan dengan pre-eklampsia dan eklampsia selalu harus dibuat.
Pengobatan sama dengan diluar kehamilan dengan perhatian khusus, istirahat baring, diet yang sempurna dan rendah garam, pengendalian hipertensi serta keseimbangan cairan dan elektrolit. Untuk pemberantasan infeksi cukup diberi pensillin, streptokokkus peka terhadap penisillin. Apabila ini tidak berhasil, maka harus dipakai antibiotika yang sesuai dengan hasil tes kepekaan.
Biasanya penderita sembuh tanpa sisa-sisa penyakit dan fungsi ginjal yang tetap baik. Kehamilan dapat berlangsung sampai lahirnya anak hiduup, dan apabila diingankan oleh wanita boleh hamil lagi dikemudian hari. Ada kalanya penyakit menjadi menahun dengan segala akibatnya. Pada umumnya prognisis bagi ibu cukup baik. Kematian ibu sangat jarang, dan apabila terjadi biasanya itu disebabkan oleh dekompensasi kordis, komplikasi serebro-vaskuler, anuria dan uremia.

Glomerulonoefritiss akuta mempunyai pengaruh tidak baik terhadap hasil konsepsi; terutama yang disertai tekanan darah yang sangat tinggi dan insufisiensi ginjal, dapat menyebabkan abortus, partus prenaturus dan kematian janin.

GAGAL  GINJAL MENDADAK DALAM KEHAMILAN
Gagal ginjal mendadak (acute renal failure) merupakan komplikasi yang sangat gawat dalam kehamilan dan nifas, karena dapat menimbulkan kematian, atau kerusakan fungsi ginjal yang tidak bisa sembuh lagi. Kejadiannya 1 dalam 1300-1500 kehamilan.
Kelainan ini didasario oleh dua jenis patologi.
1.      Nekrosis tubular akut, apabila sumsum ginjal mengalami kerusakan.
2.      Nekrisis kortikal biletral apabila smpai kedua ginjal yang menderita.
    Penderita yang mengalami sakit gagal ginjal mendadak ini sering dijumpai pada kehamilan muda 12-18 minggu, dan kehamilan telah cukup bulan.  Pada kehamilan muda, sering menyebabkan abortus septik yang disebabkan oleh bakteri Cholostridia welchii atau sterptokokkus. Gambaran klinik yaitu berupa sepsis, dan adanya tanda-tanda oligluria mendadak dan azothemia serta pembekuan darah intravaskuler sehingga terjadi nekrosis tubular yang akut. Kerusakan ini dapat sembuh kembali bila kerusakan tubulus tidak terlalu luas dalam waktu 10-14 hari. Akan tetapi ada peneliti yang menganjurkan pada penderita diberikan antibiotika yang adekuat dan intensif serta dilakukan dialisis terus menerus sampai fungsi ginjal baik.
    Pada masa nifas sulit diketahui sebabnya, sehingga disebut sindrom ginjal idiopatik potspartum. Penanggulangan pada keadaan ini, penderita diberi infus, atau transfusi darah, diperhatikan keseimbangan elektrolit dan caira dan segera dilakukan hemodialisis bila ada tanda-tanda uremia. Banyak penderita membutuhkan hemodialisis secara teratur atau dilakukan transpalantasi ginjal untuk ginjal yang tetap gagal. Gagal ginjal dalam kehamilan ini dapat dicegah bila dilakukan:
1.      Penanganan kehamilan dan persalinan dengan baik
2.      Perdrahan, syok, dan infeksi segera diatasi atau diobati dengan baik
3.      Pemberian trnasfusi darah dengan hati-hati

4. Diabetes Melitus
Diabetes mellitus pada kehamilan adalah intoleransi karbohidrat ringan (toleransi glukosa terganggu) maupun berat (DM), terjadi atau diketahui pertama kali saat kehamilan berlangsung. Definisi ini mencakup pasien yang sudah mengidap DM (tetapi belum terdeteksi) yang baru diketahui saat kehamilan ini dan yang benar-benar menderita DM akibat hamil
Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan karbohidrat yang menunjang pemasokan makanan bagi janin serta persiapan untuk menyusui. Glukosa dapat berdifusi secara tetap melalui plasenta kepada janin sehingga kadarnya dalam darah janin hampir menyerupai kadar darah ibu. Insulin ibu tidak dapat mencapai janin sehingga kadar gula ibu yang mempengaruhi kadar pada janin. Pengendalian kadar gula terutama dipengaruhi oleh insulin, disamping beberapa hormon lain : estrogen, steroid dan plasenta laktogen. Akibat lambatnya resopsi makanan maka terjadi hiperglikemi yang relatif lama dan ini menuntut kebutuhan insulin.
Diagnosis
          Deteksi dini sangat diperlukan agar penderita DM dapat dikelola sebaik-baiknya. Terutama dilakukan pada ibu dengan faktor resiko berupa beberapa kali keguguran, riwayat pernah melahirkan anak mati tanpa sebab, riwayat melahirkan bayi dengan cacat bawaan, melahirkan bayi lebih dari 4000 gr, riwayat PE dan polyhidramnion. Juga terdapat riwayat ibu : umur ibu > 30 tahun, riwayat DM dalam keluarga, riwayat DM pada kehamilan sebelumnya, obesitas, riwayat BBL > 4500 gr dan infeksi saluran kemih berulang selama hamil.
Klasifikasi
a. Tidak tergantung insulin (TTI) – Non Insulin Dependent diabetes mellitus (NIDDN) yaitu kasus yang tidak memerlukan insulin dalam pengendalian kadar gula darah.
b. Tergantung insulin (TI) – Insulin dependent Diabetes Melitus yaitu kasus yan memerlukan insulin dalam mengembalikan kadar gula darah.

Pengaruh kehamilan pada diabetes
Glukosuria renal sering dijumpai dalam kehamilan. Kelainan ini terdapat tidak karena kadar glukosa darah tinggi, melainkan karena ambang ginjal terhadap glukosa rendah. Karena itu diabetes dalam kehamilan tidak bisa dinilai dari pemeriksaan reduksi urin
Pengaruh diabetes pada kehamilan
Diabetes mempengaruhi timbulnya komplikasi dalam kehamilan sebagai berikut.
Pengaruh dalam kehamilan
Dalam kehamilan diabetes dapat menyebabkan komplikasi sebagai berikut :
a.       Abortus dan partus prematurus
b.      Pre-eklampsia
c.       Hidramnion
d.      Kelainan letak janin
e.       Insufisiensi plasenta
Pengaruh dalam persalinan
Penyulit yang sering dijumpai pada persalinan ialah :
a.       Inertia uteri dan atonia uteri
b.      Distosia bahu karena anak besar
c.       Kelahiran mati
d.      Lebih sering pengakhiran partus dengan tindakan
e.       Lebih mudah terjadi infeksi
f.       Angka kematian maternal lebih tinggi.

Pengaruh dalam nifas
Diabetes lebih sering mengakibatkan infeksi nifas dan sepsis, dan menghambat penyembuhan luka jalan lahir, baik ruptur perineum maupun luka episiotomi.

Pengaruh diabetes pada bayi
Diabetes mempunyai pengaruh tidak baik terhadap hasil konsepsi, dan dapat terjadi penyulit sebagai berikut :
a.       Kematian hasil konsepsi dalam kehamilan muda mengakibatkan abotus
b.      Cacat bawaan terutama diabetes yang telah diderita lama sekitar 20 tahun atau lebih
c.       Dismaturitas
d.      Janin besar (makrosomia)
e.       Kematian dalam kandungan
f.       Kematian neonatal
g.      Kelainan neurologik dan psikologik dikemudian hari.
Komplikasi
Maternal     :infeksi saluran kemih, hydramnion, hipertensi kronik, PE, kematian ibu
Fetal            :abortus spontan, kelainan congenital, insufisiensi plasenta, makrosomia, kematian intra uterin,
Neonatal     : prematuritas, kematian intra uterin, kematian neonatal, trauma lahir, hipoglikemia, hipomegnesemia, hipokalsemia, hiperbilirubinemia, syndroma gawat nafas, polisitemia.
Penatalaksanaan
          Prinsipnya adalah mencapai sasaran normoglikemia, yaitu kadar glukosa darah puasa < 105 mg/dl, 2 jam sesudah makan < 120 mg/dl, dan kadar HbA1c<6%. Selain itu juga menjaga agar tidak ada episode hipoglikemia, tidak ada ketonuria, dan pertumbuhan fetus normal. Pantau kadar glukosa darah minimal 2 kali seminggu dan kadar Hb glikosila. Ajarkan pasien memantau gula darah sendiri di rumah dan anjurkan untuk kontrol 2-4 minggu sekali bahkan lebih sering lagi saat mendekati persalinan. Obat hipoglikemik oral tidak dapat dipakai saat hamil dan menyusui mengingat efek teratogenitas dan dikeluarkan melalui ASI, kenaikan BB pada trimester I diusahakan sebesar 1-2,5 kg dan selanjutnya 0,5 kg /minggu, total kenaikan BB sekitar 10-12 kg.

Penatalaksanaan Obstetric
Pantau ibu dan janin dengan mengukur TFU, mendengarkan DJJ, dan secara khusus memakai USG dan KTG. Lakukan penilaian setiap akhir minggu sejak usia kehamilan 36 minggu. Adanya makrosomia pertumbuhan janin terhambat dan gawat janin merupakan indikasi SC. Janin sehat dapat dilahirkan pada umur kehamilan cukup waktu (40-42 minggu) dengan persalinan biasa.
Ibu hamil dengan DM tidak perlu dirawat bila keadaan diabetesnya terkendali baik, namun harus selalu diperhatikan gerak janin (normalnya >20 kali/12 jam). Bila diperlukan terminasi kehamilan, lakukan amniosentesis dahulu untuk memastikan kematangan janin (bila UK <38 minggu). Kehamilan dengan DM yang berkomplikasi harus dirawat sejak UK 34 minggu dan biasanya memerlukan insulin.

5.   Tuberkulosis Paru
        Kehamilan tidak banyak memberikan pengaruh terhadap cepatnya perjalanan penyakit ini, banyak penderita tidak mengeluh sama sekali. Keluhan yang sering ditemukan adalah batuk-batuk yang lama, badan terasa lemah, nafsu makan berkurang, BB menurun, kadang-kadang ada batuk darah, dan sakit di dada. Pada pemeriksaan fisik mungkin didapatkan adanya ronkhi basal, suara caverne atau pleural effusion. Penyakit ini mungkin bentuknya aktif atau kronik, dan mungkin pula tertutup atau terbuka.

 Pada penderita yang dicurigai menderita TBC Paru sebaiknya dilakukan pemeriksaan tuberkulosa tes kulit dengan PPD (puirified protein derivate) 5u, bila hasil positif dilanjutkan dengan pemeriksaan foto dada. Perlu diperhatikan dan dilindungi janin dari pengaruh sinar X, pada penderita TBC Paru aktif perlu dilakukan pemeriksaan sputum BTA untuk membuat diagnosis secara pasti sekaligus untuk tes kepekaan / uji sensitivitas. Pada janin dengan ibu TBC Paru jarang dijumpai TBC congenital, janin baru tertular penyakit setelah lahir, karena dirawat atau disusui ibunya.
Penatalaksanaan :
         Penyakit ini akan sembuh dengan baik bila pengobatan yang diberikan dipatuhi oleh penderita, berikan penjelasan dan pendidikan kepada pasien bahwa penyakitnya bersifat kronik sehingga diperlukan pengobatan yang lama dan teratur. Ajarkan untuk menutup mulut dan hidungnya bila batuk, bersin dan tertawa.
Sebagian besar obat anti TBC aman untuk wanita hamil, kecuali streptomisin yang bersifat ototoksik bagi janin dan harus diganti dengan etambutol, pasien hamil dengan TBC Paru yang tidak aktif tidak perlu mendapat pengobatan.  Sedangkan pada yang aktif dianjurkan untuk menggunakan dua macam obat atau lebih untuk mencegah timbulnya resistensi kuman, dan isoniazid (INH) selalu diikutkan karena paling aman untuk kehamilan, efektifitasnya tinggi dan harganya lebih murah.
 Obat-obatan yang dapat digunakan
1.      Isoniazid (INH) 300 mg/hari. Obat ini mungkin menimbulkan komplikasi pada hati sehingga timbul gejala-gejala hepatitis berupa nafsu makan berkurang, mual dan muntah. Oleh karena itu –perlu diperiksa faal hati sewaktu-waktu dan bila ada perubahan untuk sementara obat harus segera dihentikan.
2.      Etambutol 15-20 mg/kg/hari. Obat ini dapat menimbulkan komplikasi retrobulber neuritis, akan tetapi efek samping dalam kehamilan sangat sedikit dan pada janin belum ada.
3.      Streptomycin 1gr/hari. Obat ini harus hati-hati digunakan dalam kehamilan, jangan digunakan dalam kehamilan trimester I. Pengaruh obat ini pada janin dapat menyebabkan tuli bawaan (ototoksik). Disamping itu obat ini juga kurang menyenangkan pada penderita karena harus disuntikan setiap hari.
4.      Rifampisin 600mg/hari. Obat ini baik sekali untuk pengobatan TBC Paru tetapi memberikan efek teratogenik pada binatang poercobaan sehingga sebaiknya tidak diberikan pada trimester I kehamilan.
           Pemeriksaan sputum harus dilakukan setelah 1-2 bulan pengobatan, jika masih positif perlu diulang tes kepekaan kuman terhadap obat, bila pasien sudah sembuh lakukan persalinan secara biasa. Pasien TBC aktif harus ditempatkan dalam kamar bersalin terpisah, persalinan dibantu Ekstraksi Vacum atau Forcep. Usahakan pasien tidak meneran, berikan masker untuk menutupi mulut dan hidung agar kuman tidak menyebar. Setelah persalinan pasien dirawat di ruang observasi 6-8 jam, kemudian dapat dipulangkan langsung. Pasien diberi obat uterotonika dan obat TBC tetap harus diteruskan. Penderita yang tidak mungkin pulang harus dirawat di ruang isolasi, karena bayi cukup rentan terhadap penyakit ini, sebagian besar ahli menganjurkan pemisahan dari ibu jika ibu dicurigai menderita TBC aktif, sampai ibunya tidak memperlihatkan tanda-tanda proses aktif lagi setelah dibuktikan dengan pemeriksaan sputum sebanyak 3 kali yang selalu memperlihatkan hasil negatif.
           Pasien TBC yang menyusui harus mendapat regimen pengobatan yang penuh. Semua obat anti TBC sesuai untuk laktasi sehingga pemberian laktasi dapat dengan aman dan normal. namun bayi harus diberi suntikan mantoux, dan imunisasi BCG.







BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
Sebagai kesimpulan, penyakit yang menyertai kehamilan itu diantaranya adalah penyakit jantung, ginjal, tbc paru, asma, dan diabetes mellitus. Semua penyakit ini memberikan dampak pada kehamilan sehingga semua penyakit harus bisa ditangani dengan baik sehingga dampak yang ada tidak besar atau minimal atau bahkan tidak ada dampak yang ditimbulkan pada kehamilan baik itu pada ibu maupun pada janin.
Selain itu, dalam penangan penyakit-penyakit ini harus diperhatikan dalam pemberian obat-obatan. Karena dengan pemberian obat-obatan yang salah dapat memberikan efek terutama kepada sang janin. Sehingga kita harus mengetahui jenis obat-obatan yang boleh diberikan kepada ibu hamil dan juga yang tidak boleh diberikan pada ibu hamil. Jangan sampai kita bermaksud memberikan pengobatan untuk kesembuhan tapi malah menyebabkan efek teratogenik pada janin.

B.     SARAN

Sebagai saran kami, sebagai penolong persalinan kita harus bisa mendeteksi secara dini penyakit-penyakit yang menyertai kehamilan sehingga dapat meminimalkan atau menghilangkan resiko cacat atau kematian janin. Kita harus bisa megetahui penanganan yang tepat atau pengobatan yang aman buat kehamilan ibu sehingga persalinan dapat berjalan secara fisiologi. Selain itu, kesadaran dari ibu untuk memeriksakan diri selama hamil sehingga tidak dapat terdeteksi secara dini. 

DAFTAR PUSTAKA

 Manuaba. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit kandungan, dan Keluarga berencana untuk Pendidikan Bidan. EGC : Jakarta

Prawiroharjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo : Jakarta
Helen Varney dkk. 2003. Asuhan Kebidanan Edisi 4. PENERBIT BUKU KEDOKTERAN : Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar